Membayangkan menjadi seseorang yang lain tanpa berpikir panjang, melihat hanya dari satu perspektif saja rasanya enak sekali. Kayaknya kalo jadi A enak deh, padahal tanpa kita ketahui si A menjadi sekarang juga sebab perjalanan panjang. Kita tidak tahu bagaimana lelah dan sakitnya si A. Tapi, yang jadi point penting disini adalah, lihat, si A memilih untuk tetap baik-baik saja. Memastikan bahwa setiap orang melihatnya hidup tenang, senang, dan damai. Si A tidak memedulikan beratnya beban yang harus dia pikul.
Kemarin aku berjumpa dengan seseorang. Aku lihat dia lelah sekali. Dia duduk seorang diri di pelataran jalan. Serius sekali menatap orang berlalu lalang dengan mata berkaca-kaca. Aku berjalan mendekatinya dan bertanya,
"Kamu kenapa?"
Dia tidak menjawab, dia menangis dan memelukku erat sekali. Aku kesulitan bernafas, tapi melihatnya menangis tersedu-sedu rasanya aku tidak tega. Ingin sekali mengusap matanya. Dia cantik, matanya sangat indah. Aku katakan padanya,
"menangislah sampai kamu merasa lega, berjanjilah padaku, setelah ini tidak ada lagi isak tangis. Karena aku ingin melihat kamu tersenyum."
Dia menjawab dengan sisa kekuatan yang ada,
"Aku lelah, rasanya tahun ke-20 selalu memaksaku untuk menemukan jalan keluar dari semua jalan buntu yang aku temui. Aku kehabisan akal untuk berpikir. Ini berat sekali, aku tidak sanggup memikul ini semua sendiri. Sayangnya, aku tidak bisa meminta tolong siapapun selain Tuhanku saja. Rasanya dunia tidak berpihak padaku. Aku dituntut bisa menyelesaikan semua masalah yang ku hadapi sendirian. Satupun tidak ada yang tahu beratnya jadi aku, kecuali diriku sendiri. Memangnya aku salah, jika dalam situasi dan kondisi tertentu aku membutuhkan seseorang untuk ada disampingku dan mendengarkanku? Tidak kan?"
"Iya tidak"
"Tidak perlu dijawab, aku tidak butuh jawabanmu. Aku hanya ingin kamu mendengarkan. Sudah itu saja"
Dalam batinku, untunglah kamu perempuan. Lucu sekali melihatmu ngomel seperti ini. Rasanya ingin ku cubit pipi cabimu.
"Hei kamu ini mendengarkan aku tidak?"
"Kenapa tidak dijawab, hei aku bertanya kepadamu!"
"Katanya tidak perlu dijawab?"
"Ah kamu ini, kalau aku bertanya ya dijawab. Kamu ini ya, datang bukannya membuatku merasa tenang malah bikin kesal."
Lucu sekali melihat dia marah-marah. Ternyata, dibalik sifat angkuhnya. Dia sama halnya manusia biasa. Dia manja. Hanya saja ketakutannya akan masalalu membuat dia keras kepala sekali. Dia sulit percaya pada seseorang. Dia memilih memendam apa-apa sendiri. Tapi yang ku tahu, dia cuma butuh kasih sayang dan raga untuk berlindung.
Dia kembali terdiam. Air mata menetes. Dia tidak sadar, sedari tadi aku menatapnya. Dia buru-buru menghapus air matanya. Maklum, gengsinya luar biasa. Dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan orang banyak. Aku akui, dia sangat tangguh. Aku tidak sudi membiarkan dia jatuh pada lelaki yang salah.
"Hei" Dia memanggilku.
"Ya?"
"Kadang-kadang aku berpikir mengapa semua masalah datang silih berganti dan betubi-tubi. Kali ini aku turut membenarkan perkataan bapakku, 'semakin kamu dewasa, kamu akan bertemu dengan banyak masalah. Karena sejatinya hidup adalah masalah.' Hah! Persetan macam apa ini? Aku selalu minta agar dikuatkan, tapi, kenyatannya Tuhan selalu memberiku masalah yang lebih berat dan semakin berat lagi. Perlahan aku mulai sadar. Skenario Tuhan indah sekali ya? Menguatkan seseorang dengan cara di luar nalar. Diberikannya rasa sakit agar kita bisa merasakan yang namanya bahagia. Dibuatnya perpisahan agar kita bisa menghargai sebuah kehadiran. Dibiarkannya jatuh sejatuh-jatuhnya agar kita bisa belajar, betapa berartinya proses perjuangan untuk kembali bangkit."
"Itu kamu tahu"
"Dengarkan dulu. Tapi, aku juga manusia biasa. Saat ini aku merasa berat sekali. Aku dipaksa Tuhan untuk memikul ini semua. Aku tidak bisa menolak, ini cara Tuhan dalam menguatkanku. Aku butuh . . ."
Dia kembali terisak dan memelukku lebih erat. Tanpa dia memberi tahu akan semua masalahnya, aku bisa merasakan, betapa beratnya menjadi dia. Bodoh, aku tidak berguna sebagai teman. Yang ku tahu, dia gila dengan segala canda tawanya. Kenyataanya aku salah. Percayalah,
"Kelak kamu akan bertemu dengan lelaki yang tepat" batinku ikut berbicara.
Kamu tahu siapa dia? Dia adalah teman baikku. Dia adalah diriku sendiri. Dia yang paling paham keadaanku sekarang.
Yogyakarta, 28 Maret 2020
-Nur Aroma Rofiqoh
Komentar
Posting Komentar