Langsung ke konten utama

Beradu



Sejak malam itu saya belajar banyak hal. Selamat anda berhasil membuat saya merasa baik-baik saja. Tidak ada yang salah, kecuali sesuatu yang berlebihan. Dan cara anda mengajari saya benar-benar manjur. Kalimat-kalimat klise yang biasa dituliskan di mana-mana adalah benar.

Yang patah tumbuh
Yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia pasti akan bermakna
Yang dicari hilang
Yang dikejar lari
Yang masih banyak lagi

Yang entah itu baik atau buruk. Semua harus pas pada porsinya, maka cukup. Itu enak sekali.
Satu-satunya cara untuk melawan ketakutan adalah berani mencobanya, apapun itu. Saya pribadi takut sekali patah hati. Bagaimanapun caranya saya harus menjaga hati saya dengan sebaik-baiknya. Tapi cara saya ternyata salah.

Darimana saya tahu itu salah? Hati saya yang bilang, hati saya menolak, hati saya memberontak,
"Tidak begini caranya, ini merugikan sebelah pihak"

Berpura-pura tidak peka atas perasaan orang lain adalah tindakan jahat yang berulang kali pernah saya lakukan. Kenapa? Banyak faktor, yang jelas menyalahkan objek lain sebagai penyebabnya adalah bentuk dari betapa pengecutnya diri saya sendiri. Padahal itu salah saya, pemicunya banyak. Saya yang kurang belajar. Makannya saya tidak mau hal tersebut terjadi lagi. Tidak sudi. Saya mencoba menenangkan diri sendiri, tidak apa-apa satu persatu, pelan-pelan, memang jalannya seperti ini.

Setelah beberapa kali mematahkan hati orang lain entah dengan atau tanpa disengaja, karena soal rasa memang tidak bisa dipaksakan. Saya jadi sadar, untuk sembuh darinya patah hati, saya harus merasakan patah hati. Ternyata nikmat sekali, iya menangis pada awalnya, sejadi-jadinya. Setelah itu, lega.

"Hidup sekali, jangan sampai menyesal. Tidak semua orang punya keberanian. Tapi, dengan keberanian sekalipun semuanya bukan berarti bisa, setidaknya mau mencoba daripada tidak sama sekali"

Saat ini, perasaan sering dikorbankan dengan cuma-cuma. Memilih memendam apa yang harusnya diungkapkan, tanpa sadar mengutarakan apa yang sebaiknya dipendam. Persetan dengan duniawi. Semuanya berisi kepalsuan yang ditutup dengan pencitraan. 

Mau sampai kapan bohong dan menyakiti diri sendiri?
Mengiyakan yang harusnya ditolak
Menolak yang sepantasnya diiyakan
Menangisi sesuatu yang harusnya dilepas
Melepaskan apa yang semestinya dijaga

Mulai sejak saat ini, peka ya?
Ajak hati untuk berkawan dengan sebaik-baiknya. 

Gebang, 13 Oktober 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kok jatuh lagi?

Sudah susah jatuh cinta, sekalinya jatuh pada orang yang salah alias tidak mencintai balik itu sama seperti sudah jatuh, eh malah tertimpa durian. Sakit. Mau mengutuk diri sendiri. Aku benci dengan rasa ini, mengapa harus jatuh dan nyaman pada seseorang yang bukan tempatnya untuk pulang. Aku membutuhkanmu, denganmu aku merasa tenang dan menjadi lebih baik. Tawaku ada bersamaan dengan tawamu. Tapi, aku terlalu cepat menaruh rasa. Kebenaran yang mutlak, apapun itu kalau terlalu dikejar dia akan lari. Maka, apakah sepantasnya aku harus mengikhlaskan lagi? Kau tahu? Berat rasanya menjalani hari-hari tanpa adanya tempat untuk bertukar cerita. Tidak adalagi yang bertanya bagaimana hariku, tidak ada lagi ceritaku yang harusnya ku ceritakan denganmu. Aku benci jatuh cinta, jika harus jatuh, lalu dipaksa mengikhlaskan kamu untuk yang lain, lagi. Ini bukan satu dua kalinya. Berkali-kali. Aku selalu mengalah atas nama demi orang lain. Sakit ini seperti sakit yang sembuh karena ditutup oleh sakit ...

Rumut tetangga selalu terlihat lebih hijau

Pada kenyataanya apa yang terlihat dan tak dimiliki selalu terasa indah dan menggiurkan. Sepertinya yang kita miliki tak ada arti. Kita selalu sibuk membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan sesuatu yang nampak dari orang lain. Begitu selalu. Hingga kita lupa, bahwa bisa bangun dan bernafas saja itu patut kita syukuri.  Hari-hari berlalu, sejak keputusan berat itu di bukan Februari aku banyak belajar. Bahwa masalah tidak pernah usai, sebab hidup itu sendiri merupakan masalah. Aku sering bertanya kepada Tuhan, "Tuhan mengapa aku? Tidakkah kau berniat memberiku waktu jeda untuk bernafas lega tanpa memikirkan sesuatu?" Terus begitu. Semakin aku bertanya Tuhan selaku menjawab dengan ujian lagi dan lagi. Yang awalnya terasa berat tidak terasa bisa ku lewati. Apapun, apapun itu ujiannya. Semua terasa berat diawal. Kita sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan itu seolah nyata. Kadang aku berpikir, bisa tidak mengerti aku saja meski sebentar. B...